A. SANGGAR
DAN AKADEMI SENI RUPA
Disekitar tahun 1945-1950, adalah masa revolusi fisik.
Sanggarpun tumbuh dimana-mana, diantaranya adalah: Golongan Seni Rupa Masyarakat, ketua Affandi, sekretaris Dullah.
Dullah (realisme) yang akhirnya mendirikan museum Dullah di Solo sampai akhir
hayatnya. Pada tahun 1946 lahir di Madiun Seniman
Indonesia Muda (SIM) ketua S. Sujoyono. Pelukis Rakyat, lahir di Yogyakarta. Para pelukis yang bermukim di
Yogyakarta pada tahun 1947 berhasil pameran bersama, menampilkan sekitar 70
lukisan, berkat bantuan keuangan dari Biro Perjuangan Kementerian Keuangan.
Dari jumlah lukisan tersebut hanya beberapa saja yang berhasil diselamatkan
karena agresi militer kedua Belanda yang diboncengi sekutu. Di Jakarta sebuah
poster karya Affandi saat detik-detik Proklamasi dengan model Dullah, teks
Chairil Anwar: “Boeng ayo boeng”
diproduksi dengan teknik cukilan kayu oleh grafikus Abdulsalam sempat membakar
semangat para pejuang kemerdekaan. Poster disebarkan diseluruh Jawa, dan
ditempel pada gerbong-gerbong sepur di Jawa. Poster ini reproduksinya dapat dilihat
di Monumen Jogja Kembali. Sanggar yang lain adalah: Pelukis Indonesia dan Jiwa Mukti lahir di Bandung, Prabangkara di Surabaya, Sanggar
Banbu di Yogyakarta. Pelukis front melukis langsung di garis depan
pertempuran, sekitar tahun 1945.
Pada
tahun 1949 di Yogyakarta berdiri Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), di
Gampingan, RJ.Katamsi sebagai direktur pertamanya. Pendukungnya adalaj S.
Sujoyono, Hendra Gunawan, Jayeng Asmara, Kusnadi, Sindisiswoyo. Terdapat
Jurusan Seni Patung, Seni Grafik, Seni Lukis, Reklame. Sedangkan bagian Guru Gambar (Bagian V) akhirnya
dilimpahkan ke FKSS IKIP Yogyakarta pada
tahun 1964, menjadi Jurusan Seni Rupa. Saat itu masih di Sayidan, setelah tahun
1974 pindah ke Kampus Karangmalang, Sleman Yogyakarta. Saat ini (2010) menjadi
Jurusan Pendidikan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Saat itu para
didukung oleh dosen (seniman) bertaraf internasional ASRI: Drs. H. Widayat,
Drs. Edi Sunarso, Drs. H. Amri Yahya. Adapun para Ketua Jurusan adalah: Jumadi,
Soedarso, Sp. MA, Drs. Soetrisno P., Drs. Gudaryono, Drs. HM. Affandi, Drs.
Soemarsono, Drs. Soesatyo, Drs. Suwarna
(penulis), Dra. Tri Hartiti Retnowati, Drs. Hajar Pamadhi, I Wayan Suardana, M.
Sn., B Muria Zuhdi, M. Sn (2010). Untuk meningkatkan kompetensi akademik para
dosen saat ini banyak yang studi lanjut S2 dan S3 di ITB, ISI Yogyakarta, PPS
UNY. Atas prestasi dan pengabdiannya Drs. H. Amri Yahya (pendiri Amri Gallery
di Gampingan) mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari PPS UNY, dan akhirnya
dapat meraih predikat Profesor. Atas prakarsa Amri Yahya berhasil secara
periodik 3 kali pada setiap 2 tahun sekali
mengadakan Pameran Batik Canting Emas pada tahun 1980an bekerja sama
dengan Taman Budaya Yogyakarta. Pameran ini juga disertai dengan penghargaan
karya terbaik, yang diikuti secara terbuka oleh umum. Pameran Seni Rupa Dosen
Alumni dan Mahasiswa (DAM) juga terselenggara secara periodik dua tahun sekali,
di Taman Budaya yang ketiga kali di Beteng Vredeburg Yogyakarta. Pada tahun
2006 para dosen unjuk gigi pameran seni
lukis di Tembi Rumah Budaya Bantul yang dipublikasikan secara global melalui
internet. Saat ini (2010) Jurusan Pendidkan Seni Rupa FBS UNY terakreditasi B,
menghasilkan
Lulusan sebagai calon guru yang
kompeten.
ASRI Yogyakarta menelorkan
seniman berbobot diantaranya adalah: Widayat, Bagong Kussudihajo, Edhi Sunarso,
Saptoto, G. Sidharta, Abas Alibasyah, Sunarto Pr. Sajirun (perencana uang),
Siti Rulyati, Hardi, Bonyong alias Muniardi, Aming Prayitna, Mujitha, Mulyadi
W.,Irsam, Agus Dermawan, Abdul Rahman.
Di Bandung pada tahun 1950
lahir Sekolah Guru Seni Rupa, berkat jasa S.Sumarja, Ries Mulder, Arie Smit,
menelorkan senima: Popo Iskandar, Ahmad Sadali, But Mokhtar, Srihadi, AD
Pirous, Hariadi, Kabul Suadi, T. Sutanto, Umi Dahlan, Sunaryo, Jim Supangkat,
Pandu Sudewo, dsb. Saat ini bernama Jurusan
Seni Rupa ITB.
Di Surabaya para pelukis
bergabung dalam Aksera (Akademi Seni Rupa Suirabaya) dengan tokoh: Amang
Rahman, Krisna Mustajab, Daryono, OH Supono, Rudi Isbandi, Nunung WS, Nuzurlis Koto.
Di Jakarta lahirlah
Jurusan Seni dan Disain LPKJ (Lembaga Kesenian
Kesenian Jakarta). Pengaruh pergolakan politik sangat tersa sekitar
enampuluhan tahun hingga runtuhnya Orde Lama. Hal ini merembes pada kreativitas
seni rupa, yang mengakibatkanadanya pertentangan politik secara actual, bahkan
dengan pengerahan massa. Sesudah tahun 1965 kekbebasan kreatif dihargai
berlandaskan Pancasila, maka tumbuh berdampingan antara Naturalisme, Realisme,
Impresionisme, Abstrak dan dekoratif. Teknik kolase, batik dengan tema
bervariasi cukup memperkaya khasanah seni rupa Indonesia.
Di Yogyakarta pengusaha
batik dan seniman berkumpul dan bekerjasama Dengan Balai Penelitian Batik
yangmengadakan eksperimen dan akhirnya menghasilkan Seni Lukis Batik yang cukup
artistikdan berkembang pesat. Tokohnya adalah: Kusnadi, Kuswaji, Sularjo, Amri
Yahya, Bambang Utoro, dan sederet seniman batik di Taman Sari Kraton
Yogyakarta. DiJakarta Murdiyanto juga melukis batik. Pemerintah DKI Jakarta
memperhatikan hal ini dengan memberikan fasilitas dan akhirnya lahirlah Dewan
Kesenian Jakarta taman Ismail Marzuki, Lembaga Kesenian Jakarta, Museum dan
Gelanggang Remaja. Di bali juga muncul
gedung megah di Abian
Kapas guna pameran seni rupa, lahirlah
gaya Kamasan daerah Klungkung (klasik
tradisional) dengan dominasi warna keciklatan dan prada mas. Lahir juga The
Young Artist dengan warna cemerlang segar.
Widayat, ia lahir di Kutoarjo 2 Maret
1919, mulai belajar melukis tahun 1939, studi di ASRI Yogyakarta sejak tahun
1950. Ia punya 2 istri dan 11 anak, pernah menjadi militer Devisi Garuda
Sumatra Selatan. Ia bersama Mulyono pelukis zaman Mooi Indie mendidrikan
Pelukis Indonesia Muda (PIM) pada tahun1952. Menjadi dosen ASRI tahun 1954 –
1988 pada jurusan Seni Murni dan Desain. Mendirikan Museum H. Widayat di
Mungkid, Magelang, Jateng, direskikan pada tanggal 30 April 1994. Ia menjadi
Ketua Jurusan Dekorasi/ disain Ruang Dalam di STSRI ASRI Yogyakarta tahun 1966
– 1984. Pernah belajar keramik, gardening dan printing di Jepang. Lukisannya
banyak berdasarkan konsep: penampilan tema dan motif kehidupan
keseharian, dan berkisar pada keluarga, pemandangan alam, corak
dekoratif-magis. Sebagai contoh
lukisan Widayat sebagai berikut.
Gambar 9. “ Arus balik setelah
lebaran”, Widayat, 1997, 95 Cm x 145 Cm
Sumber lukisan tersebut adalah katalog
pameran tunggalnya pada tanggal 20 Maret 1999 di Museum H. Widayat Mungkid,
Magelang, Jateng. Suatu semboyan berdasarkan pada prinsip yang dipegang teguh adalah: “berdoa, bersyukur dan beramal”. Pameran di: Jakarta, Bali, Tokio,
Nagoya, Yogyakarta, dunia mengakui ia sebagai seniman berbobot, bertaraf
internasional. Prosedur: melukis
berdasarkan ilham dan berbagai endapan pengalaman dan penagamatan kehidupan
sehari-hari.
Edhi Sunarso, lahir di Salatiga tahun
1933. Ia belajar melukis 1947-1949 dalam komplek tawanan L.O.G. Bandung. Tahun
1950 belajar melukis dan mematung pada Hendra Gunawan. Pendidikan : 1950-1955
ASRI Yogyakarta, 1955-1957 Visva Bharati University Santiniketan India, 1958
Ketua Jurusan Seni Patung ASRI Yogyakarta. Tahun 1969-1973 dosen Jurusan Seni
Rupa FKSS IKIP Yogyakarta. Tahun 1963 anggota TIM Keluarga Arca Yogyakarta.
Mendapat hadiah nomor 2 kompetisi seni patung internasional di London Inggris. Contoh seni patungnya (disain monumen)
bercorak realistis dikoleksi oleh Balai Seni rupa Jakarta: “Monumen AURI”
tinggi 97 Cm, “Pembebasan Irian Jaya” tinggi 106 Cm, “Patung potret diri”,
tinggi 65 Cm. Karya patung monumentalnya
cukup banyak di Jakarta dan Yogyakarta: Monumen
AURI, Pembebasan Irian Jaya, Pancasila sakti di Jakarta, bahan perunggu. Monumen serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, bahan perunggu. Prosedur: disain patung dari tanah liat,
dibuat cetakan, dicor perunggu, dirangakai ditempat dipasannya monument
tersebut. Pengecorannya di bengkel
Karangwuni Jl Kaliurang Yogyakarta. Diorama di Monas Jakarta. Dalam mengerjakan
berbagai karyanya, mesti mendapat bantuan dari para mahasiswanya. Hal ini sekaligus merupakan transfer of value kepada generasi penerus agar “ niteni, meniru dan nambahi” supaya lebih maju dan lebih baik
untuk iklim persenipatungan Indonesia dikemudian hari.
Kegiatan
pameran bersama di New Delhi, Calcuta, Nederland dan Yogyakarta. Mendapat
hadiah ke 2 dan ke 3 dalam kompetisi Monumen Revolusi
10 November Surabaya tahun 1971.
Mendapat medali emas hadiah ke 1 dalam kompetisi dan pameran seni rupa di India
tahun 1957. Berikut contoh patung dari batu andhesit.
Gambar 10.
“Kelaparan”, Edhi Sunarso
(Soedarso, Sp.
Dkk. 1992: 94)
Patung tersebut menggambarkan betapa penderitaan rakyat
Indonesia saat dijajah, hingga kurus kering, namun kakinya membesar sebagai
pertanda adanya penyakit. Untuk menciptakan patung dari bahan batu andhesit,
diperlukan kecermatan dan kehati-hatian
dalam memahat, agar menghasilkan patung sesuai dengan tujuannya. Sebab jika
salah memahat dan terjadi kerusakan proporsi atau sikap, maka arca tersebut
akan cacat dan tidak baik. Patung tersebut menghiasi halaman gedung DPRD DIY di
Jl. Malioboro Yogya.
Saptohudoyo, lahir di Solo 1925, menetap di
Yogyakarta dan membuka galeri di Jl. Lakksda Adisucipto (Jl. Solo), sebelah
utara Lanud Adisicipto Yogyakarta. Banyak mengunjungi Negara asing: Philipina,
Hongkong, Jepang, Jepang, Inggris,
Belanda, Amerika, Perancis, Italia, Mexico, Spanyol, dan Hawai. Pelukis realism
pada awal mulanya, namun berkembang ke kolase logam (onderdil kapal terbang).
Lukisan koleksi Balai Seni Rupa Jakarta: “Siaga menghadang konvoi Belanda”.
Karya yang lain adalah: “ Wanita dengan kelenting”, “Wanita pembawa keranjang”,
“Pahlawan”. Berjasa dalam mengembangkan disain gerabah Kasongan Bantul,
Yogyakarta sehingga maju. Mempunyai ide membuat makam seniman di Imogiri
Bantul, (di bukit sebelah barat makam raja-raja Mataram) dan terlaksana,
kemudian ditempatinya bersama H. Widayat dan seniman lain yang berkenan
dimakamkan di sana.
Amri Yahya, lahir 29 September 1939 di
Palembang, belajar melukis di ASRI Yogyakarta dan Jurusan Seni Rupa FKSS IKIP
Yogyakarta, kemudian menjadi dosen di Jurusan Seni Rupa FKSS IKIP Yogyakarta
(tahun 2010 FBS Universitas Negeri Yogyakarta). Pameran di dalam dan di luar
negeri sangat sering: Timur Tengah, Perancis, Belanda (studi lukis keramik),
Amerika, Brunei Darrussalam, Thailand dan lain-lain. Semula melukis realisme,
kemudian berkembang semi abstrak, kaligrafi Arab, dengan cat minyak dan
akrilik, dan aquarel. Mengembangkan
seni lukis batik, penggagas “Canting Emas”, diikuti oleh umum,
pameran batik dan penghargaan di Taman Budaya Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Seni Rupa FBS Universitas
Negeri Yogyakarta. Pameran tersebut diadakan secara rutin setiap 2 tahun
sekali, tahun 2000 pameran yang kelima kalinya.
Konsep: daerah asalnya banyak
lebak,mengilhami menjadi lukisannya. Ia memegang teguh suatu prinsip: “seni untuk ibadah”. Prosedur, dalam melukis setelah
mendapat ide melalui ilham, kemudian berekspresi secara spontan ekspresif di
atas kanvas, dan aksen plototan cat mendominasi lukisannya, cemerlang dan
reklamis. Domisili di Gampingan Yogyakarta, dan sekaligus sebagai “Amri Gallery”.
Atas jasa-jasanya yang telah
mengharumkan nama bangsa
Indonesia di dalam
dan luar negeri maka
ia mendapat gelar
Doktor honoris causa dari Universitas
Negeri Yogyakarta. Berikut contoh
lukisan batiknya.
Gambar 11.
“Karang”, Amri Yahya
(Katalog
Canting Emas 2000)
Popo Iskandar, lahir di Garut, Jawa Barat 17
Desember 1927, selain pelukis, ia penulis kritik sejak tahun 1958-1987, dimuat
di berbagai majalah dan harian. Pendidikan melukis sejak tahun 1943 dibimbing
oleh Angkama, Barli dan Hendra Gunawan. Bergabung dengan Keimin Bunka Shidoso
di Bandung. Pada tahun 1944 karyanya terpilih untuk pameran keliling di
kota-kota besar Indonesia bersama seniman besar Affandi, S. Sujoyono, Abdullah
dan Hendra Gunawan. Tahun 1958 lulus dari Seni rupa ITB, dan mengajar di
almamter tahun 1957-1961. Mengajar di Jurusan Seni Rupa IKIP Bandung tahun
1961-1993. Pameran tunggal sekitar 20 kali di Jakarta, Yogyakarta tahun a959, Medan 1978 Den Haag 1979, Leiden
1986. Aktif pameran bersama pelukis lainnya di Beijing, London, New York,
Negara Asean 1972-1984, KIAS 1992 dan Belanda 1993.
Konsep: “keteguhan dalam menerapkan
rumusan system nilai keabadian seni atau keindahan yang berlaku universal.” Prosedur melukis, berdasarkan ilham dan
pengamatan liak liuk kucing, maka diekspresikannya di atas kanvas. Berikut contoh lukisannya.
Gambar 12. “
Dua kucing di atas atap”, Popo Iskandar
1988
(Katalog pameran retrospeksi tahun 1999)
Penghargaan
Popo Iskandar: Lomba sampul terbaik Horizon tahun 1969, Anugerah Seni
Pemerintah RI 1980, anggota tetap Akademi Jakarta, seumur hidup sejak tahun
1970. Karya lukisnya bertema: kucing, pohon, bamboo, laut, perahu dan wanita.
Penciptaannya berdasarkan konsep:
“keteguhan dalam menerapkan rumusan system nilai keabadian seni atau keindahan
yang berlaku universal.”
Achmad Sadali, lahir di Garut 26 Juli 1924. Tamatan
bagian Seni Rupa ITB Bandung. Ia pernah studi di State University IOWA dan
Columbia Universtity. Bberapa kalipameran di dalam dan luar negeri. Tahun 1970
keliling Amerika Serikat, kemudian jepang, Mexico dan Eropa. Semula tampak
adanya pengaruh Ries Mulder.Bidang lukisan yangluas, warna berat merupakan
manifestasi kebesaran Allah. Pernyataan konsep:
“Pernyataan saya semoga dapat dibaca dalam lukisan saya. Bila tuan tergugah
olehnya, panjatkan puji kepada Allah SWT”. Suatu prinsip tertuang dalam pandangannya: figur (objek) menjadi kepingan bentuk geometric”. Koleksi Balai
Seni Rupa Jakarta: “Gold and brown”,acrilik diatas kanvas, “Perahu di pulau
Bali”.
Gambar 13. Tanpa judul, kaligrafi
Arab, Achmad Sadali
Prosedur
melukis: berdasarkan
ilham dan imajinasinya dituangkannya bentuk tersebut di dalam kanvasnya.
MendapatAnugerah Senidari PemerintahRI pada tahun 1972. Hadiah lukisan terbaik
pada Biennale 1974, dan dari Dewan Kesenian Jakarta 1978. Lukisan kaligrafi
Arab menjadi santapannya (Sudarmaji, Abdul Rachman, 1979: 7). Gambar 13
merupakan contoh lukisannya.
Abdul
Djalil Pirous, lahir
di Aceh 11 Maret 1933. Sarjana Jurusan Seni Rupa ITB. Pameran bersama di
Yogyakarta, Bogor, Hanoi, Rio de Janeiro, Bangkok Swiss, Inggeris. Lukisannya
mengambil motif-motif huruf Arab menyatu dengan bidang dan warna, cukup
artistik. Seni grafis juga digeluti. Pernah belajar di School of Art and, Design, Rochhester, New York USA. Mengajar di
Seni Rupa ITB Desain Grafis. Koleksi Balai Seni Rupa Jakarta: “Epitaph I”,
Purple manuscript” dan “Ayat di atas putih”. Penghargaan: Anugerah Seni dari
Pemerintah RI tahun 1985. Lukisan terbaik I dalam Biennale Indonesia 1974 dan
II tahun 1976, berkunjung 40 hari di USA 1985 dan Culture Grant dari British Council
1986 ke Inggris. Berikut contoh lukisannya,
dari katalog Istiqlal 1991.
Gamar 14. “Al
Ikhlas 89”, A.D. Pirous, 1989, akrilik.
Fajar Sidiq, lahir di Surabaya tahun
1930. Mulai melukis dengan corak realistis sampai sekitar tahun enam puluhan,
namun akhirnya di Bali ia mengambil sikap lain, menemukan konsep: “menciptakan sesuatu
yang kreatif yang tidak banyak mirip dengan dunia visual”. Dunia visual
digantikan dengan dunia imajinasi yang divisualisasikan. Pada tahun
tujuhpuluhan sekembalinya dari Selandia Baru, karena pengaruh op art Victor
Vasarely ”Dinamika keruangan” muncul
dalam lukisannya. Prosedur: melukis bentuk-bentuk bidang yang dinamis
menyentak, dengan format dan warna beraneka membentuk irama yang harmonis,
dengan cat minyak. Anugerah Seni pernah diterima dari Pemerintah RI. Tiga karya
cat minyak “dinamika keruangan” tahun 1966 dan 1975 menjadi koleksi Balai Seni
Rupa Jakarta. Ia sebagai dosen tetap ISI Yogyakarta. Contoh lukisannya sebagai berikut.
Gambar 15. “Dinamika keruangan”, Fajar
Sidiq.
Amang Rahman Jubair, lahir di Surabaya 20 Nvember 1931. Ia menulis kritik sastra, drama dan sei rupa.
Pernah mengasuh Yayasan Pendidikan Kesenian Surabaya, kemudian menjadi Aksera.
Lukisannya lembut dalam pewarnaan dan goresan kuasnya terasa kontemplatif,
aliran Surealisme. Konsep filosofinya: “Waktu
melukis akau dalam keadaan diam,seperti diamnya ketika kita bersujud.
Bersemedi. Kediaman itulah yang ingin kucapai dalam lukisannku. Suatu kediaman
yang punya dasar hening, bening. Sedang kecenderungan kecerahan ingin kucapai
dalam ketenteramannya. Dalam kesemuanya itulah kemudian aku merasa punya
sambungan dengan puncak estetis dimana akau hidup” (Sudarmajai, Abdul Rachman,
1979: 10).
Lukisannya, sekitar tahun
1974 terkesan kontemplatif, terungkap dalam figur kewayang kulit.” Mintorogo”
adalah lekisan yang dikoleksi Balai Seni Rupa Jakarta, cat minyak. Alamat: Jl.
Kalikepiting 11 Surabaya. Pameran tunggal di Surabaya, Jakarta, Bandung.
Pameran bersama di Jakarta dan Jedah, Arab Saudi. Contoh lukisan, dari Katalog Pameran Festival Istiqlal 1991
Jakarta.
Gambar 16. “Ar Ro’d 28”, Amang Rahman
Jubair, 1991, cat minyak
Daryono, lahir tahun 1935. Ia
berkonsep: memndang maujud (fenomena) merupakan garis-garis bergerak seolah
ditiup angin.”Potret dir” menjadi koleksi Balai Seni Rupa Jakarta. Domisili di
Surabaya.Aktif pameran bersama pelukis Surabaya yang lain.
Krisna Mustajab, pada tahun 1979
berumur 47 tahun, lukisannya lembut, sikapnya dengan alam intim, mesra dan pada
subjek yang dilihat adanya kesan –kesan abstrak surealistis. Konsep, ia melukis ingin mengutarakan
getaran-getaran rahasia alam yang bersumber dari luar dan diriku. Domisili di
Surabaya.
G.Sidharta Soegijo, lahir di Yogyakarta 30 November 1932.
Alamat di Jl. Kusumanegara 187 Yogyakarta. Pendidikan : ASRI Yogyakarta
1950-1953, 1953-1957 Akademi Seni Rupa Jan van Eyeck, Belanda. Dosen ITB, ketua
umum Liga Seni Rupa Bandung. Contoh
patungnya sebagai berikut.
Gambar 17. “Tiang kehidupan”, G.
Sidharta Soegijo, 1978
(Jim Supangkat dan Sanento Yuliman,
1982: 85)
Mendapat
anugerah seni lukis terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Anugerah
seni dari Pemerintah RI tahun 1982. Diundang untuk membuat patung di Jepang,
Singapore, dan Jepang. Aktif pameran tunggal dan bersama sejak tahun 1957,
lukis, patung, grafis. Karya monumental : Relief Hirosima di museum Perjuangan
Yogyakarta tahun 1960, patun Garudadi ruang siding MPR/DPR RI, monumen Tonggak
Samudra di pelabuhan Tanjungpriuk Jkarta tahun 1980. Patung balance and orientataion di Elgala Plaza
Fukuoka, Jepang. Patung-patung perunggunya di cor di Karangwuni Jl. Kaliurang.
Pensiun dari ITB tahun 1997. Prosedur:
berkarya jika pesanan bahan perunggu, maka pembuatan disain, cetakan, cetak,
pemasangan di lokasi.
Jim Supangkat, lahir di Jongaya Sulawesi Selatan 2
Mei 1948. Ia mulai melukis sejak tahun 1966, belajar sendiri dan di Sanggar
Senima Bandung. Lulus jurusan Seni Rupa ITB tahun 1975. Disamping sebagai
pelukis juga sebagairedaktur majalah pop Indonesia “Aktuil”, “Tempo”, tahun
1979 “Zaman”. Aktif sebagai kritikus seni rupa. Dosen luar biasa pada Institut
Pertanahan Bogor. Pameran bersama
kelompok “ Pameran 74” tahun 1974, Pameran Seni Rupa baru 1975, dan
1976. Tokoh “Gerakan seni rupa baru
Indonesia”. Ikut Pameran se abad
seni rupa Indonesia 1976. Ia menetap di Bandung. Sebagai Art Consultant dalam wadah Jim Supangkat and Associates. Koleksi Balai Seni Rupa
Jakarta: “Patung Kristus”, tinggi 199 Cm bahan kayu dan logam.
Jeihan Sukmantoro, lahir di Solo 1938.
Rumah di Jl Mesjid 1/11A Bandung. Lukisannya sangat digemari oleh kritikus dan
kolektor, bahkan punya agen di Australia dan Amerika. Lukisannya kebanyakan
menampilkan figure wanita sendirian dengan latar belakang yang memukau.
Sesekali muncul perahu pantai, dan bunga matahri. Ia pernah kuliah di Jurusan
Seni Rupa ITB, keluar, melukis dan berhasil. Mendirikan Studio Seni Rupa di
Bandung, tahu 1978 didampingi Dr. Sujoko mantan gurunya. Menjadi anggota komite
The World Art and Culture Exchange
Assosiation Inc , berpusat di New York USA.
Berikut
contoh lukisannya.
Gambar 18. “ Mirah di pantai merah”,
Jeihan 1984
(Katalog Pameran Dua sahabat 1992)
Sri Hadhy, lahir 18 Desember 1943. Studio dan
gallery di Jl. Buncit 34 Jakarta. Pendidkan ASRI Yogyakarta, melanjutkan di Vrije Academic Voor Beelde Kunten de Vrije
Academic Psycopolis, Den Haag. Ia telah mendapat nama berkat lukisannya
yang bergaya ekspresionisme, disajikan
dalam nafas kontemporer, cemerlang, dinamis, dikagumi tingkat nasional dan
internasional. Pameran di Kualalumpur 1969, Bangkok 1972, Belanda 1972- 1988.
Ia seorang dermawan, menyatakan prinsipnya:
“ Saya sungguh mensyukuri bakat yang dianugerahkan-Nya, dengan jalan
mengamalakannya sebagian hasil jerih payah saya itulah, saya mengagungkan nama-Nya.
Prosedur melukis, spontan, ekspresif, segar dan meyakinkan. Berikut contoh lukisannya.
Gambar 19. “Anjungan V”, Sri Hadhy
1992, cat minyak
(Katalog Pameran Dua sahabat, 1982)
Dalam
lukisannya tampak dominasi goresan kuas besar yang ekspresif meyakinkan, tanpa
ragu-ragu. Kemudian diisi dengan detail objek utamanya dengan goresan – goresan
spontan menggunakan kuas kecil.
Dari
berbagai perupa, yang asalnya dari berbagai penjuru Nusantara ternyata
Indonesia kaya akan seniman yang bervariasi alirannya, bagaikan mozaik yang
bertebaran diberbagai kota besar Indonesia, walaupun sebagian besar menetap di
pulai Jawa dikota-kota besar: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
LATIHAN
Pilihlah jawaban:
A.
Jika
pernyataan 1 benar dan pernyataan 2 benar namun tidak ada hubungan/ tidak
terkait.
B.
Jika
pernyataan 1 benar dan pernyataan 2 benar, tetapi ada hubungan.
C.
Jika
pernyataan 1 benar dan pernyataan 2 salah.
D.
Jika
pernyataan 1 salah dan pernyataan 2 benar.
E.
Jika
pernyataan 1 salah dan peryataan 2
salah.
Soal
1.
P1.
Persagi lahir di Jakarta pada zaman pergolakan revolusi fisik diketuai oleh
Agusjaya.
P2. Putera juga lahir pada
zaman pendudukan Jepang di Jakartadipimpin bagian kebudayaan oleh S. Sujoyono.
2.
P1.
Persagi telah memulai untuk menggelorakan nasionalisme dalam kesenian, S.
Sojoyono sebagai sekretaris.
P2. Sedangkan Putera
bagian kebudayaan dipimpin oleh S. Sujoyono, Affandi adalah salah satu
anggotanya.
3.
P1.
“Dalam taman nirwana”, judul lukisan Agusjaya, dengan penampilan figure-figur
wanita yang cantik jelita sebagai bidadari.
P2. “Ranjang pengantin,
judul lukisan S. Sujoyono dengan penampilan interaksi seorang wanita dan
laki-laki duduk di tempat tidur.
4.
P1.
Lukisan zaman Mooi Indie beraliran Su Ralisme, sebagaimana lukisan basuki
Abdullah “ Gadis Aceh”.
P2. Lukisan zaman
pendudkan Jepang, ada yang beraliran realis ekspresionisme, sebagaimana “Potret
diri “, Affandi.
5.
P1.
Lukisan” Bakul Yogya”, merupaka buah cipta Soedarso, Sp, MA dosen ISI
Yogyakarta.
P2. Yang betul adalah
bahwa Soedarso, Sp. MA adalah dosen ISI Yogyakarta penulis tentang Sejarah Seni Rupa dan
Tinjauan Seni.
6.
P1.
Berbagai sanggar seni rupa lahir saat revolusi fisik, SIM sebetulnya diketuai
oleh Affandi, yang melukis secara ottodidak itu.
P2. Di sisi lain
sebetulnya Golongan Seni Rupa masyarakat diketuai oleh Affandi yang beraliran
realis ekspresionis itu.
7.
P1.
Widayat, sebetulnya adalah seorang pelukis naturalisme, karena objek yang
dilukis banyak menampilkan suasana alam dan kehidupan sehari-hari seperti “Arus
balik setelah lebaran”.
P2. Tetapi yang lebih
meyakinkan bahwa Edhi Sunarso adalah seorang pematung ottodidak seperti juga
haknya Affandi.
8.
P1.
Amri Yahya adalah seorang pelukis yang menggagas senilukis batik Canting Emas,
di Taman Budaya Yogyakarta.
P2. Sebetulnya Amri Yahya
karena dosen pada Jurusan Seni Rupa FKSS IKIP Yogyakarta, menggagas Canting
Emas tersebut, untuk umum.
9.
P1.
“Kucing” banyak mengilhami lukisan Popo Iskandar, di ITB Bandung.
P2. “ Dinamika keruangan”
juga merupakan ciri khas lukisan Fajar Sidiq, ISI Yogyakarta.
10. P1. G. Sidharta Soegijo, salah satu
patungnya berjudul ”Tiang kehidupan”, ia juga mendalami grafis dan lukis.
P2. Tetapi Sri hadhy,
adalah pelukis yang handal, sebetulnya ia juga mahir mematung, salah satu
patungnya adalah “Tonggak Samudra” di Tanjung Priuk Jakarta.
Kunci (Latihan
halaman 40)
1.
A 6. D
2.
D 7. E
3.
C 8. B
4.
D 9. A
5.
D 10. C
BAB
IV PERKEMBANGAN SENI RUPA MODERN
Perkembangan
seni rupa modern Indonesia dipelopori oleh Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia
dengan tokoh-tokohnya: Harsono, Muni Ardi, Jim Supangkat, S. Prinka, Dede Eri
Supria, Bahtiar Zainal, Nyoman Nuarta, dan seniman muda yang lain, disekitar
pertengahan tahun 1974. Terdapat dua pola piker, pertama mencari sebab
kemandegan perkembangan seni rupa Indonesia. Kedua, pemikiran lebih bergerak
kearah pencarian konsepsi baru dalam berkarya.
Konsep:
1. Tidak membeda-bedakan disiplin seni.
2. Menghilangkan sikap seorang spesialis
cipta seni.
3. Mendambakan kreativitas atau
memungkinkan berkarya sehingga tumbuh banyak gaya dan semuanya baru.
4. Menerapkan perkembangan seni rupa yang
berpredikat Indonesia.
5. Memebebaskan diri dari keterikatan
bentuk yang lazim, sehingga memberikan kesan eksperimental dan main-main
(Raharja, 1987:113).
Akhirnya karya-karyanya
tampak aneh, nyleneh, karena berprinsip semua media dan teknik dapat
digunakan dalam berkarya seni rupa.
Gambar 20.
“Kabut plastik”, Dede Eri Supria
(Raharjo,
1987: 113)
Pamerannya menyentak dan
mengejutkan masyarakat, sehingga dari kaangan kritikus sendiri ada yang
memandang negative dan positive. Sudarmaji dan Kusnadi pernah berpolemik dim as
media tentang hal tersebut. Prosedur
berkarya, setelah mendapatkan ide, kemudian diekspresikan secara bebas melalui
media yang bebas pula. Berikut contoh karya yang lain.
Gambar 21. “Proyek migrasi pasir”,
Priyanto
Karya tersebut seperti pamflet yang
ditempel pada papan. Lain halnya dengan karya Jim Supangkat yang berjudul ”Salon”, berujud patung dinding yang
menampilkan payudara yang sintal, namun
penuh dengan pesan tertentu berujut berbagai tulisan. Di bagian bawah tengah payudara tampak tangan
yang terbuka seakan menggapai kedua payudara tersebut. Di sini apresian berhak
menafsirkan sesuai dengan bekal dan fantasinya, sehingga menemukan empati
terhadap karya tersebut. Perhatikan gambar 22 berikut.
Gambar 22. “ Salon”, Jim Supangkat
Kemunculan
seni patung modern Indonesia ini untuk membedakan dengan seni patung primitive,
tradisional dan klasik. Patung yang bercorak abstrak, figurative diperkenalkan
tokoh-tokoh yang belajar di luar negeri seperti Edhi Sunarso, G. Sidharta, yang
kemudian banyak diikuti oleh seniman yang lain. Pameran patung 1995
outdoor-indoor di Museum H. widayat Mungkid Magelang, dalam rangka 1 tahun usia
museum itu, tanggal 30 April – 30 Mei 1995, menampilkan beberapa seniman.
Seniman tersebut adalah: H. Widayat, Edhi Sunarso, Bagong Kussudiharjo, Melia
Jaarsma, Kasman Ks, Eko Sunaryo, Hedi Sunaryo, Saptoto, Ivan Sagito, Anusapati,
Mujiono, Askabul,Ign. Pamungkas Garjito, Eddi Harra, R.J. Winarno, Yamiek, Budi
Rahayu, dan masih ada yang lain. Konsep:
mencari diom-idiom yang menarik, sehingga menemukan spirit dan citra estetik
yang baru. Sebagaimana tuntutan yang harus dipenuhi oleh seniman adalah
menampilkan corak pribadi harus muncul di dalam patungnya. Sebagai contoh patung Ivan Sagito “Yang tergantung dan terjemur bagian –bagian
dirinya” cukup menarik untuk ditampilkan sebagai berikut.
Gambar 23. “Yang tergantung dan terjemur bagian – bagian
dirinya”, Ivan Sagito
(Katalog Seni Patung 1995: 16)
Patung
tersebut dari bahan kayu dan besi, tediri tiga bagian yaitu bagian pertama
tampak tubuh wanita memakai rok tanpa tangan namun ada kakinya. Bagian kedua,
tubuh laki-laki tanpa kepala dalam posisi duduk dengan kedua tangan menyingkap
sarung, dan bagian ketiga tampak kepala
wanita dengan rambut panjang
semampir pada tali jemuran. Penampilan
tiga baian tubuh yang tergantung demikian ini tergolong unik, karena
biasanya sebuah patung berdiri di atas alas. Untuk memaknai penampilan patung
yang demikian diserahkan kepada apresian, sesuai dengan bekal pengetahuan dan
minat masing-masing. Sebagaimana dikemukakan oleh kritikus Sudarmaji, jika kita
akan memaknai sebuah karya seni rupa kita harus “telanjang”, artinya jangan ada
suatu isme atau faham yang mempengaruhi kita agar dapat mencerna makna yang
hakiki.
Ivan Sagito lahir 13 Desember 1957 di
Malang, pendidikan ISI Yogyakarta, Tinggal di Jl. Bener 61 Yogyakarta.
Dalam
“Pameran seni patung 2000” di Taman Budaya Yogyakarta tanggal 14 Februari – 4
Maret 2000, diprakarsai oleh taman Budaya dan Dewan Kesenian DIY, tampil perupa
: Al ghazali, Amrus Natalsa, Arsana, Edhi Sunarso, Bagong Kussudiharjo, Ichwan
Noor, Saptoto, Rita Widagdo, Sarjito, R.J. Winarno. Konsep: “Menampilkan idium-idium baru”, hal ini tampak dari
berbagai variasi patungnya, menggunakan berbagai media. Begitu juga coraknya,
figurative, abstrak, geometric, realistik, sehingga menampilkan adanya suatu
tingkat kreativitas yang tinggi. Kecenderungan mengolah figure secara
deformativ seperti patung R.J. Winarno yang terkesan adanya pengaruh Henry
Moore sebagai berikut.
Gambar 24. “Kloning”, R.J. Winarno
Proses
kait mengkaitpun juga muncul dalam patung Hedi Haryanto dan Ahmad Syahbandi
yang cenderung mengarah ke instalasi. Tema – tema sosial diangkat secara
naratif (Anusapati, 2000: 27).
BAB
V PERKEMBANGAN MUTAKHIR SENI RUPA INDONESIA
Yayasan Seni Cemeti Yogyakarta menerbitkan buku berjudul
”OUTLET”, berisi tentang “ Yogya dalam peta seni rupa kontemporer Indonesia”,
disusun oleh Jim Supangkat, Sumartono, Asmujo Jono Irianto, Rizki A. Jailani,
M. Dwi Marianto, tahun 2000. Hal ini merupakan penelitian yang dibeayai oleh Prins Claus Fond yang berkedudukan di Belanda. Penyelenggara
yang menyusun Term of Reference (TOR)
untuk mempertahankan kota Yogyakarta sebagai kota budaya dan kota pelajar, maka
Yogyakarta sebagai lingkup penelitiannya. Label Yogyakarta bukanlah merupakan
sebuah aliran. Perkembangan seni rupa di Yogyakarta cukup dinamis, hingga
muncullah istilah ”seni rupa
kontemporer”. Sebenarnya telah lama sejak tahun tujuhpuluhan kritikus Dan
Suwaryono telah memunculkan “ Seni Arca Kontemporer”, dimuat di harian Berita
Yuda Jakarta.
Pengertian
seni rupa kontemporer ada dua :
1.
Seni
rupa kontemporer berarti seni rupa modern dan seni rupa alternative, seperti
instalasi, happening, dan performance
art. Seni instalasi adalah karya
seni rupa yang diciptakan dengan menggabungkan berbagai media, membentuk
kesatuan baru dan menawarkan sesuatu yang baru. Seni instalasi tampil bebas
tidak mengkotak-kotakkan seni lukis, seni patung, seni grafis dan lain sebagainya.
Isinya juga mengandung kritik dan keprihatinan. Happenings disebut juga
“teater aksi” (action theatre), “seni
rupa peristiwa” (event art), “seni
rupa total”(total art). Di dalam happenings biasanya merupakan perpaduan
antara pameran seni rupa dengan pertunjukan teatrikal. Unsur-unsur seni teater
tradisional dihindari, dengan naskah dan latihan. Performance
art adalah perpaduan
antara seni rupa dan
pertunjukan. Dalam seni rupa pertunjukan ini dipertontonkan proses
penggarapan sebuah karya visual yang disertai dengan pertunjukan gerak,musik
dan lain-lain. Contoh: pada tahun
1960 Yves Klein mengarahkan pembuatan serangkaian lukisan yang dihasilkan dari
tiga orang model telanjang dengan tubuh
yang berlumuran cat, kemudian menggosok-gosokkan tubuhnya di atas kanvas.
Adegan seperti itu disertai iringan music dan dipertontonkan, hal ini disebut
“Antropometrics” (Sumartono, 2000: 21-22). Hal ini rupa-rupanya
mempengaruhi Iman Dipo dari Dipowinatan Yogyakarta yang melukis di pantai
Parangtritis (tidak telanjang) dengan teknik serupa, di atas kanvas yang cukup
panjang. Di dalam berseni rupa masalah “pengaruh” telah lazim.
2.
Seni rupa kontemporer berarti membatasi pada
seni rupa alternative, seperti instalasi, happenings, performance art dan beberapa
karya lain yang mempunyai kecenderungan bertentangan dengan seni rupa modern. Contoh: seorang seniman membubuhkan
tanda tangan pada tubuh seorang wanita telanjang, dan itu dianggap patung
(Sumartono, 2000: 22). Jika seni rupa modern menunjukkan “ universalisme”,
namun seni rupa kontemporer mengakui adanya “ pruralisme”. Semua bahan dan alat
dapat digunakan sebagai media ekspresi, tidak ada pembatasan-pembatasan, lebih
berani menyentuh masalah politik, sosial, dan ekonomi. Namun di Indonesia
kadang sulit untuk membedakan antara seni rupa modern dengan seni rupa
kontemporer. Istilah kontemporer berasal dari bahasa Inggris contemporary
secara harfiah berarti “masa kini”, atau “modern”.
Dengan adanya pengetahuan
tentang seni rupa Barat maupun Indonesia yang dikaji dari kampus, perupa muda
dari STSRI Yogyakarta banyak berdiskusi dan mengadakan eksperimen dengan
berbagai bahan dan alat, sangat bebasnya. Contoh:
Fx Harsono: “ Rantai yang santai” tahun 1975, dari bahan kasur, bantal dan
guling, rantai dan alas. Karya ini dipamerkan di Galeri senisono
Yogyakarta, sekarang tidak sebagai
galeri lagi, menyatu dengan Gedung Agung.
Berikut contoh karya Fx. Harsono:
Gambar 25. “Rantai yang santai”, FX
Harsono, 1975
(Sumartono, 2000: 26)
Yayasan
Seni Cemeti Yogyakarta (perpustakaan di Jl. Ngadisuryan 7A Yogyakarta 55133)
besar pengaruhnya terhadap nafas seni rupa Yogyakarta, sehingga merupakan titik
penting dalam “Art world Yogyakarta”, menuju
internasionalisasi (istilah Sanento Yuliman almarhum). Kegiatannya adalah menggalang
perupa muda untuk tampil dalam : pameran, diskusi, pemutaran slide dan film
kesenirupaan yang sangat sering diadakan. Perpustakaanya terbuka untuk umum,
serta keanggotaannya, pelayanan sangat familiair, mendukung maju bersama.
Cemati didirikan oleh sepasang perupa yaitu Nindito Adipurnomo dengan Mella
Jaarsma (kurator), sepulang suami istri ini dari Belanda (tahun 1980). Eddi
Harra dan Heri Dono merupakan perupa yang sangat menyatu dengan Cemeti, dan
merupakan pionir seni rupa kontemporer Yogyakarta. Berikut contoh karya Nindito Adipurnomo “Introversion” (April the
twenty first), multi media, 1995-1996, 400 Cm x 600 Cm x 600 Cm. Tampak
wajah Ibu Kartini dalam bingkai dan cermin-cermin oval, ditempel, dan
digantung.
Gambar 26. “Introversion”, Nindityo Adi Purnomo, 1995-1996
(Irianto, 2000: 92)
Karya
tersebut mengisyaratkan pada kita hendaknya agar dapat bercermin kepada
perjuangan Ibu Kartini yang telah berjasa membela hak azasi kaum wanita agar
maju dan berkembang tidak ketinggalan dengan kaum lelaki.
Heri Dono, sesuai dengan konsep seni instalasi, karya
seni rupa yang diciptakan dengan menggabungkan berbagai media, membentuk
kesatuan baru dan menawarkan sesuatu yang baru pula, maka ia berkarya sebebas
mungkin dan tidak meninggalkan prinsip
juga. Prinsip: sikap kritis dan
advokatif dalam seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagai landasan kuat acuan
berkarya. Heri Dono sering pameran internasional, berupa seni instalasi. Ia
mempunyai kemampuan meramu unsur-unsur kekayaan tradisi, social-politik dalam
penggarapan karya-karyanya sehingga tampil dengan meyakinkan. Tukang dan atau
artis sering dilibatkan dalam kolaborasinya, sehingga muncul seni instalasi
bersama performance art yang banyak
melibatkan peserta. Prosedur: setelah
ia mendapatkan ide kemudian mencari media dan diolah – dipadukan sehingga
membentuk sebuah karya yang telah dikonsepnya.
Contoh: “Glass
Vehicles”,
1995, mixed media. Tampak beberapa
krombong krupuk berisi boneka, berdiri di atas kursi roda tiga, di tutup
krombong tertera lambang kraton Yogyakarta.
Gambar 27. “ Glass Vehicless”, Heri
Dono, 1995
(Irianto, 2000: 99)
Iwan Wiyono, mahasiswa ISI Yogyakarta
tahun 1997 menampilkan performance art,
berjudul ”The green man”. Ia tampil bercelana pendek, seluruh tubuh dicat
hijau, membawa daun pisang hijau segar berjalan di Jl. Malioboro dari utara ke
selatan. Dengan penampilannya ini banyak orang tercengang melihatnya, bahkan
dikira orang gila. Sempat dirangkul polisi apa maunya? Dijawab secara
diplomatis, “ini performance art”.
Akhirnya diijinkan pulang juga. Bila ditinjau secara semiotika, hal ini sebagai
pertanda bahwa seniman berekspresi sesuai dengan ide yang sarat akan suatu
pesan tertentu, sehingga apresian diberi kesempatan untuk menafsirkan secara
bebas makna yang terkandung di dalamnya. Dengan contoh-contoh ini menunjukkan
betapa luas dan lebarnya perkembangan seni rupa Yogyakarta dewasa ini.
Perhatikan gambar berikut.
Gambar 28.”The green man”,Iwan Wiyono, 1997
(Zaelani, 2000: 167)
Di
Makasar juga tampak adanya gejala perkembangan seni rupa kontemporer, mimesis
dan modern. Beberapa perupa diantranya adalah Sofyan Salam, Abdulkahar
Wahid, Amrullah Syam, Suripno, Zainal,
Amin, Pong Masak, Sudirman, Firman Jamil dll., tampil dalam pameran, berbagai
kegiatan seminar dan diskusi santai. Dari kacamata Sofyan Salam diungkapkan
masih adanya gejala mimesis, yakni meniru alam misalnya lukisan pemandangan
karya Abdul Kahar Wahid. Namun juga ada kreativitas seniman yang telah menjalar
sangat bebas seperti halnya ”Seni rupa pertunjukan Koran”, karya Firman Jamil
dkk., menampilkan arak-arakan membawa bendera koran disertai gerobag ditarik
manusia. Apa sebetulnya pesan yang disampaikan? Penafsiran maknanya merupakan
hak dari apresian, yang jelas ini
merupakan contoh performance art juga.
Gambar 29. “Seni rupa pertunjukan
Koran”, Firman Jamil dkk. 1999
(Salam, 2000: 46)
Pimpinan Muhammadiyah Daerah, kota Yogyakarta juga menyelenggarakan
“Festival seni budaya” tanggal 20-27 Juli 2002. Salah satu kegiatannya adalah
pameran lukisan di gedung PMD kota Yogyakarta Jl. Sultan Agung Yogyakarta.
Pameran tersebut didukung oleh dosen dan seniman internasional Amri Yahya,
Fajar Sidiq, Ida hajar, Syaiful Adnan,
Hendra Buana, Lucia hartini, Kustiyah, Suwarna (penulis), dan sederet
seniman yang lain. Hal ini merupakan unjuk gigi Muhammadiyah, merupakan
organisasi Islam yang besar,
Juga memperhatikan eksistensi seni,
dengan catatan tidak menyimpang dari etika dan tuntunan agama Islam dan tidak
musyrik. Muhammadiyah pernah mengharamkan memasang gambar KH. Ahmad
Dahlan,dengan tujuan agar tidak mengkultuskannya. Namun telah ditinjau kembali
maka diputuskan ”boleh memasangnya asal tidak mengkultuskannya dan tidak
dipuja-puja agar tidak musrik”, keputusannya dimuat dalam Himpunan Putusan
Tarjih.
Kegiatan
ini merupakan usaha realisasi Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 45 di Aceh
dengan konsep: “Melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar lewat seni budaya
dan media kultural”(Margono, 2002: 3). Prinsip:
“Seni Untuk ibadah”. Prosedur:
seniman berkarya berdasarkan ide / ilham, diekspresikan sesuai dengan karakter
corak pribadinya dalam kanvas. Contoh: Lukisan
Lucia Hartini beraliran Su Realisme sebagai berikut.
Gambar 30. “Seumur Sulaiman”, Lucia
Hartini
(Katalog Pameran Festival Seni Budaya
Muhammadiyah, 2002)
Sedangkan Ida Hajar : “ Un title”, menampilkan suasana kehidupan
rakyat kecil, corak dekoratif. Tampak seorang Ibu menggendong anak sambil
menyapu, danseorang anak memegang layang-layang. Di belakangnya tampak seorang
wanita sedang membatik dan lelaki memegang burung, dari kejauahan tampak sebuah
rumah joglo.
Gambar 31. “Un title”, Ida Hajar
(Katalog Pameran Festival Seni Budaya
Muhammadiyah, 2002)
Berikut
adalah contoh lukisan Suwarna (penulis) yang dipamerkan di Festival seni Budaya
Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2002: “Maha suci Allah”, cat minyak di atas
kanvas, 90 Cm x 90 Cm. Dalam lukisan
tampak seekor sapi dinaiki 7 orang dan kambing dinaiki seorang,
penggambaran ibadah Idul Qurban, bahwa sapi diperuntukkan 7 orang, dan kambing
untuk seorang. dan tampak ada jamaah shalat dengan imam sujud di awang-awang,
sert tulisan Arab “subhanallah” (maha
suci Allah). Lukisan ini cenderung beraliran Su Realisme.
Gambar 32. “ Maha suci Allah”, Suwarna
(Katalog Pameran Festival Seni Budaya
Muhammadiyah, 2002)
Para perupa cilikpun, di Yogyakarta cukup banyak yang punya
reputasi internasional seperti Bima (Tamansiswa), Intan Sari Dewi, (sanggar
Melati Suci), tiga bersaudara Adya, Sotya, Lolita (Kids Painting), Jl. Puntadewa 19 Griya Pendawaharja Indah, Sewon,
Bantul, Yogyakarta, mereka sudah sering pameran bertaraf internasional. Konsep seni lukis anak-anak adalah:
“bermain dan melukis merupakan satu kesatuan”. Sedangkan prinsip yang harus dipegang dalam seni lukis anak-anak adalah: mengembangkan dan membina kreativitas
sesuai dengan karakter kepribadiannya, tetap memperhatikan kejiwaan anak-anak. Prosedur: Anak-anak melukis apa yang ia
ketahui bukan apa yang ia lihat, berdasarkan hal ini maka ide – fantasinya
diekspresikan melalui media yang ia kuasai, pastel, spidol, glitter, cat air. Contoh: Perhatikan lukisan Intan Sari
Dewi berikut.
Gambar 33. Jenis lukisan “ Enniki” (pengaruh Jepang), Intan Sari
Dewi 1994.
(Katalog Pesta Seni Anak
Internasional, 1994 di Yogyakarta)
Dalam lukisan tersebut
ditulis tampak adanya suatu pernyataan yang ditulis di bagian bawah, hal ini
disebut Enniki”, pengaruh Jepang. Pada
lukisan China juga demikian. Lukisan anak-anak pernah diteliti oleh
Victor Lowenfelt (Amerika serikat) tahun tujuhpuluhan, menunjukkan adanya
gejala stereotype, mengulan-ulang
bentuk yang sama dalam setiap lukisannya. Contoh sering munculnya gunung dua,
matahari terbit ditengah-tengannya, jalan lurus ditengah. Gejala yuxta position (perspektif mata burung =
bird eye view, mensejajarkan objek
bertumpuk ke atas, bahkan langit sering hilang taka dilukis. Hal ini juga
dijumpai pada lukisan Bali. Gejala X ray
picture (transparan/tembus pandang, misalnya kucing makan tikus, tikus
masih tampak utuh di perut tikus. Gejala tegak lurus garis dasar, finanitas
(menonjolkan sesuatu yang vital/aktif), gejala rebahan, condong tulisan, serba
lucu. Berikut contoh lukisan anak TK
ABA Mardi Putra Bantul, dengan mixed media, hasil binaan penulis.
Gambar 34. “Jembatan diantara dua
gunung”, Yogi B1
TK ABA Mardi Putra Bantul Yogyakarta
Pada lukisan Yogi B1
tersebut memang masih tampak adanya dua gunung, namun ia sudah menambahkan
objek jembatan diantar dua gunung tersebut, sangat fantastis. Matahari dilukis
adanya unsur seperti mata, hidung, mulut, alais, hal ini merupakan gejala
personifikasi pada lukisananak-anak. Matahari sudah dilukis di tepi kiri tidak
ditengah dua gunung. Pada puncak gunung
yang kanan, tampak adanya dua pohon yang yang miring, tagak lurus bidang gunung
, menunjukkan adanya gejala tegak lurus garis dasar. Adanya objek yang lain
seperti hewan kaki empat, dua orang membawa rumput dan speda merupakan
interaksi yang bagus. Berikut contoh
lukisan anak-anak, Sotya, “Monster burung”, 2002.
Gambar 35. “ Monster burung”, Sotya, 2002
(Katalog pameran di Gabusan , 2003)
Dalam lukisan anak-anak
tercermin adanya spontanitas yang tinggi, dansangat ekspresif. Lukisan anak-anak
dewasa ini (2011), telah
menunjukkan
adanya suatu perkembangan yang luar
biasa. Untuk mempelajarinya diperlukan suatu panduan dasar yaitu periodisasi dan tipologi. Paling tidak
ada tipe visual dan non visual. Sedangkan periodisasi lukisan anak-anak menurut
Victor Lowenfeld dalam Muharam Enton dan Warti Sundar (1991-1992) adalah
sebagai berikut, masa:
Coreng-moreng : 2-4 tahun
Pra bagan : 4-7 tahun
Bagan :
7-9 tahun
Permulaan realism : 9-11 tahun
Pseudo realism :
11-13 tahun
Krisis puber :
13-17 tahun
Tokoh yang lain
menyelidiki lukisan anak-anak adalah: Kercheinsteiner, Cyril Burt, Rhoda
Kellog, masing-masing menemukan corak dan periodisasinya, namun tidak jauh
berbeda. Periodisasi ini jangan terlalu ketat dianut, karena perkembangan
lukisan anak-anak dewasa ini sangat pesat berkat adanya berbagai media massa,
TV, internet, majalah dan lain-lain, sangat mempengaruhi jiwa maupun
keterampilan teknik melukis.
Pembinaan seni lukis
anak-anak juga banyak dilakukan di Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Surabaya,
Bandung dan Malang. Banyak pula diadalan lomba lukis anak-anak yang diadakan
oleh organisasi atau instansi pemerintah, dalam even-even tertentu dengan juri
dari seniman dan pendidik seni. Kejuaraannya: Juara I, II, III dan Harapan I,
II, III. Ada pendapat yang pro dan kontra, namun perlu diingat bahwa tujuannya
adalah membina dan mengembangkan fungsi-fungsi jiwa: fantasi, sensitivitas,
kreativitas dan ekspresi, agar perkembangan jiwa dan raga menjadi harmonis.
Sanggar Melati Suci Yogyakarta membina asnak-anak melukis berdasarkan suatu
konsep: “bermain dan melukis”, pembina A. Hari Santosa. Karta Pustaka
Yogyakarta (Yayasan Indonesia –Belanda) sekitar tahun 1973-1990an membina seni
lukis anak-anak berdasaran konsep:
“ekspresi bebas – tut wuri handayani”, dengan memberikan motivasi dan stimulasi
dengan cerita dari anak maupun pembina, kemudian anak-anak melukis dengan mixed
media (spidol, pastel, cat air). Pameran diadakan secara periodik, sebagai
pertanggungjawaban kepada yayasan maupun publik dan orang tua, sekaligus
mengembangkan apresiasi seni. Pembina kursus seni lukis di Karta Pustaka adalah
dosen dan mahasiswa dari Jurusan Seni Rupa FPBS IKIP Yogyakarta: Soetrisno P.,
Soemarsono, Soesatyo, Soenarto, Suwarna, Hajar Pamadhi, B. Trisila Dewobroto. Prosedur: pemberian motivasi dan
stimulasi dengan cerita atau pengamatan langsung di alam terbuka, anak
berekspresi. Contoh: Lukisan Siwi
Lungit, “ Bunga”, teknik aquarel, kertas, tahun 1990, umur 10 tahun, sekarang
(2011) sudah menjadi penyiar TVRI Yogyakarta.
Gambar 36.
“Bunga”, aquarel, Siwi Lungit, 1990
(Dokumen
pribadi Suwarna)
Siwi Lungit berekspresi
secara spontan dan berani, tanpa disket, langsung dengan cat air-aquarel. Bunga merah di tengahnya ada warna kuning,
disela-sela rimbunnya dedaunan hijau muda dan tua, terangkai oleh batang kayu
coklat, sehingga ia tampil dan meyakinkan. Lukisan seniman dewasapun ada yang
naïf - kekanak-kanakan. Hal yang demikian tampil karena ingin mencari identitas
jati dirinya, coba perhatikan lukisan Heri Dono berikut.
Heri
Dono, ia lahir 12
Juni 1960 di Jakarta, pernah studi di ISI Yogyakarta, tinggal skripsi, namun ia
keluar dan melukis guna mencari identitas jatidirinya, kepribadiannya secara
bebas. Saat ini tinggal di Yogyakarta. Sebagai pelukis sering berpameran
bertaraf nasional maupun internasional, sejak tahun 1991: Australia, Inggris,
New Zealand, USA, Singapura, Canada. Penulis menyaksikan pamerannya di Galeri
Semarang (24 Juni-6 Juli 2003), kurator J. Sumartono. Pameran tersebut
bertajuk: “Heri Dono, a spiritual journey”, Subject matter manusia, benda artifisial dideformasi secara bebas.
Gambar 37. “Inul is angel”, Heri Dono, 2003, 91 Cm
x91 Cm, acrilik
(Katalog
Pameran Galeri Semarang, 2003)
Rupa-rupanya Inul
Daratista sebagai penyanyi dangdut yang baru naik daun dengan goyang ngebor,
menggelitik Heri Dono dan diekspreikannya sebagai lukisan di atas kanvas.
Lukisannya merupakan refleksi berbagai gejolak: sosial, politik, ekonomi di
Indonesia. Pelukisan Inul bertangan tiga, tampak dua payudaranya, pakai rok
hijau transparan, bahkan bagian vitalnyapun tampak kuning bertitik merah. Hal
ini merupakan gejala transparan pada lukisan anak-anak. Muka dilukiskan dari
samping, namun mata tampak dua, gejala seperti ini disebut idiografi, artinya
ia melukis apa yang ia ketahui bukan apa yang ia lihat, hal ini juga merupakan
gejala lukisan anak-anak. Di atas Inul tampak seorang laki-laki bermata tiga
dengan tangan tiga pula, dari mulutnya menyembur warna putih ke bawah
melingkupi Inul. Penggambaran mata tiga, tangan tiga, sudah tidak asing lagi
bagi kesenian Hindu di Indonesia sebagaimana Syiwa bermata tiga dan tangan
empat. Di sudut kiri tampak adanya enam orang bidadari, berterbangan di atas
samudra yang luas. Penafsiran lebih lanjut dipersilahkan apresian.
Festival
Kesenian Yogyakarta XV 2003, bertajuk
: “reply”,
diadakan di Taman Budaya Yogyakarta dan Beteng Vredeburg Yogyakarta, satu bulan
tanggal 7 Juni - 7 Juli. Tujuan:
penampilan perupa yunior bersama-sama tampil dengan berbagai aliran, guna
menjawab, merespon berbagai narasi wacana seni, social, budaya, dengan tidak
membatasi lingkup geografis. Begitu beragam dan sangat bebasnya medium yang
digunakan, sehingga tampil dengan semarak da mempesona. Sederet perupa adalah:
Amirul Fauzi, Arif Eko saputra, Abdi setiawan, Nurcahyo, Endra S., Iwan Wiyono.
Contoh: karya Abdi Setiawan
“Bingkisan untuk Tuhan” 2001, 150 Cm x 35 Cm x 35 Cm. Wujud karyanya adalah
manusia di dalam boks, tampak kepala dan dua ujung tangannya. Pada boks
ditempel danditulis angka-angka, tampak tangan putih membawa pisau di bawah.
Apa pula ini maksudnya ? Sebagai apresian berhak menafsirkan wujud karya
tersebut.
Tampil pula pasar seni di
beteng Vredeburg, disertai BAZART menampilkan berbagai jenis karya lama dan
baru, ilustrasi, gambar bentuk, lukisan, patung, sketsa, dan grafis. Peserta: Affandi, Alex Luthfi,
Fajar Sidiq, H. Widayat, Herry Wibowo, Pracoyo, Nasirun Yaksa Aguas,
menampilkan karya dalam ukuran kecil. Berikut contoh karya Abdi Setiawan.
Gambar 38. “ Bingkisan untuk Tuhan”,
Abdi Setiawan, 2003
(Katalog FKY 2003)
LATIHAN
Pilihlah jawaban:
A.
Jika
pernyataan 1 benar dan pernyataan 2 benar namun tidak ada hubungan/ tidak
terkait.
B.
Jika
pernyataan 1 benar dan pernyataan 2 benar, tetapi ada hubungan.
C.
Jika
pernyataan 1 benar dan pernyataan 2 salah.
D.
Jika
pernyataan 1 salah dan pernyataan 2 benar.
E.
Jika
pernyataan 1 salah dan peryataan 2
salah.
Soal
1.
P1.
Gerakan seni rupa baru Indonesia mempelopori adanya seni rupa modern Indonesia,
sejak zaman Nindityo Adi Purnomo melahirkan Cemeti di Yogyakarta.
P2. Namun sebenarnya Gerakan seni rupa baru
Indonesia, diprakarsai oleh Harsono, Muni Ardi, Jim Supangkat, Dede Eri Supria
dan kawan-kawan di sekitar pertengahan tahun1974.
2.
P1.
Konsep tidak membeda-bedakandisiplin seni, dan berpredikat Indonesia
dikemukakan oleh Yayasan Cemeti Yogyakarta.
P2. Yayasan Cemeti Yogyakarta menerbitkan buku OUTLET, berisi
tentang Gerakan seni rupa baru Indonesia.
3.
P1.
“Yang tergantung dan terjemur bagian-bagian dirinya”, adalah patung karya Ivan
Sagito, dari bahan fibreglass.
P2. “Kloning”, karya seni
patung R.J. Winarno dari bahan fiber bening.
4.
P1.
Iwan Wiyono tampil dengan “ The green
man”, berjalan di Jl. Malioboro Yogyakarta.
P2. Karya Suwarna “Maha
suci Allah”, ditampilkan dalam Festival seni budaya Muhammadiyah di Yogyakarta.
5.
P1.
Lucia Hartini menampilkan “ Seumur Sulaiman” dalam Festifal seni budaya
Muhammadiyah di Yogyakarta.
P2. Sedangkan Ida Hajar
menampilkan ”Untitle”, bertema
binatang.
6.
P1.
Gejala X ray picture dalam seni lukis
anak-anak, merupakan gejala menumpuk objek ke bidang atas lukisan, bejajar.
P2. Heri dono dalan “Inul is Angel” sebetulnya
juga memunculkan Yuxta position,
karena manampilkan objek tembus pandang.
7.
P1.
“Rantai yang santai” karya Fx. Harsono, dipamerkan di galeri Senisono
Yogyakarta tahun 1975.
P2. Wujud karya kasur dan
guling bantal dan rantai yang disusun sedemikian rupa merupakan manifestasi
konsep Gerakan seni rupa baru Indonesia.
8.
P1. Di Makasar muncul “Seni rupa pertunjukan koran”,
oleh Firman Jamil dkk., merupakan protes terhadap konsep Gerakan seni rupa baru
Indonesia, yang tidak membatasi disiplin seni.
P2. Di Yogyakarta Hero Dono memunculkan” Glass Vehicles”, merupakan wujud
konsepsi seni instalasi yang mengangkat krombong krupuksebagai media
ekspresinya.
9.
P1.
Gejala stereotype pada lukisan
anak-anak merupakan pengulangan bentuk yang sama pada setiap ia melukis.
P2. Gejala stereotype
ini sebetulnya merupakan penggambaran muka dari samping tetapi mata dilukis dua
pada lukisan Heri Dono.
10. P1. “Enniki,” adalah jenis lukisan yang menampilkan narasi tentang apa
yang dilukiskan, pengaruh Jepang.
P2. Sebetulnya di dalam “ enniki” , harus dilukiskan objek yang berjajar keatas sehingga yuxta position akan lebih meyakinkan.
Kunci
jawaban Latihan BAB III dan BAB IV
1.
D
2.
E
3.
D
4.
A
5.
C
6.
D
7.
B
8.
D
9.
D
10. C
RANGKUMAN
Ternyata di dalam perjalanan seni rupa Indonesia,yang terpotret dari Yogyakarta,
Bandung, Jakarta, Surabaya, Makasar menunjukkan adanya berbagai fenomena:
1.
Gerakan
seni rupa baru Indonesia lahir pada tahun 1994, oleh Jim Supangkat dkk. Dengan
konsep menghilangkan sikap seorang spesialis
seni rupa, mendambakan kreativitas dan berpredikat Indonesia, bebas, segala
medium dapat dipakai berekspresi, maka tampak karya seperti main-main,
eksperimental.
2.
Perkembangan
mutakhir seni rupa Indonesia menunjukkan adanya cakrawala yang luas dalam bentuk
happening art, seni instalasi,
performance art, yang mengakui adanya pruralisme, dan disebut juga seni
kontemporer diprakarsai oleh perupa muda, diantaranya adalah Nindityo Adi
Purnama dkk dari yayasan Seni Cemeti Yogyakarta.
3.
Muhammadiyah
sebagai organisasi Islam besar di Indonesia berdasarkan keputusan Muktamar
Muhammadiyah ke 45 di Aceh: “Melaksanakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar
lewat seni budaya dan media cultural” , maka sampai dengan tahun 2003 Pimpinan
Muhammadiyah Daerah (PDM) kota Yogyakarta telah dua kali menyelenggarakan
pameran seni lukis di gedung PDM Jl. Sultan Agung Yogyakarta.
4.
Anak-anakpun
tidak ketinggalan berprestasi tingkat internasional dalam bidang seni lukis,
menunjukkan adanya suatu perkembangan yang meyakinkan, berkat adanya sanggar
dan berbagai lomba seni lukis, media massa,
elektronik, cetak. Perlu diingat adanya periodisasi dan tipologi di
dalam seni lukis anak-anak.
DAFTAR
PUSTAKA
Dharsono. 2000. Seni Lukis Indonesia. Wacana Seni Rupa. Bandung: STISI.
Kusnadi dkk. 1979. Sejarah Seni Rupa Indonesia I dan II.
Jakarta: Depdikbud.
Pameran Seni Rupa FKY VIII. 1996.
Yogyakarta. Panitia FKY VIII.
Pameran Seni Rupa FKY XV. 2003.
Yogyakarta. Panitia FKY XV.
Pameran Bazart FKY VIII. 2003.
Yogyakarta. Panitia FKY XV.
Pameran
Seni Patung. 1995. Satu Tahun Museum H.
Widayat. Museum H. Widayat dan
Ruedian Graphic Design.
Pameran
Temu Seni Rupa Fort Rotterdam. 2000. Makasar: Panitia.
Pameran
Seni Rupa Festival Seni Budaya. 2002. Yogyakarta: Lembaga Seni Budaya Kota
Yogyakarta.
Pameran
dua sahabat. Jeihan dan Srihadhy. 1992. Jakarta. Panitia.
Pameran
retrospeksi Popo Iskandar. 1999. Jakarta: Galeri Nasional.
Saptoto
dkk. 1988. Widayat. Yogyakarta:
Institut Seni Indonesia.
Soedarso.
Sp. 1987. Tinjauan Seni. Yogyakarta:
Sakudayarsana.
___________.
1998. Seni Lukis Batik Indonesia.
Yogyakarta: TBY dan IKIP Yogyakarta.
__________.
1972. Seni Patung Indonesia.
Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.
Sudarmajai
dan Abdul Rahman. 1979. Katalog Balai
Seni Rupa Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.
Supangkat,
Jim. 1979. Geraka Seni Rupa Baru
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
_________dkk.
2000. OUTLET. Yogyakarta: Yayasan
Seni Cemeti.
Wisata
Budaya dan Sejarah. 1997. Jakarta: Dirjen Pariwisata.
________________________________________________________________
Internet:
http://farm2.static.flickr.com. 24 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kotak komentar